Definisi tentang pariwisata yang
berkembang di dunia sangat beragam, multidimensi, dan sangat terkait
dengan latar belakang keilmuan pencetusnya. Pada dasarnya,
definisi-definisi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori,
yaitu yang melihat pariwisata dari sisi demand saja, sisi supply saja, dan yang sudah menggabungkan sisi demand dan supply.
Kategori pertama merupakan definisi
pariwisata yang didekati dari sisi wisatawan, sangat kental
dengan dimensi spasial (tempat dan jarak). Kategori kedua merupakan
definisi pariwisata yang dipandang dari dimensi industri/bisnis.
Sedangkan kategori ketiga, memandang pariwisata dari dimensi akademis
dan sosial budaya.
Dimensi Spesial
Definisi pariwisata yang dipandang dari
dimensi spasial merupakan definisi yang berkembang lebih awal
dibandingkan definisi-definisi lainnya (Gartner, 1996: 4). Dimensi ini
menekankan definisi pariwisata pada pergerakan wisatawan ke suatu tempat
yang jauh dari lingkungan tempat tinggal dan atau tempat kerjanya untuk
waktu yang sementara, seperti yang dikemukakan oleh Airey pada tahun
1981 (Smith and French, 1994: 3):“Tourism is the temporary
short-term movement of people to destinations outside the places where
they normally live and work, and their activities during their stay at
these destinations.”
Selain pergerakan ke tempat yang jauh
dari lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja, Airey menambahkan
kegiatan wisatawan selama berada di destinasi pariwisata sebagai bagian
dari pariwisata.
Definisi pariwisata yang dikemukan oleh World Tourism Organization (WTO) pun memfokuskan pada sisi demand
dan dimensi spasial, dengan menetapkan dimensi waktu untuk perjalanan
yang dilakukan wisatawan, yaitu tidak lebih dari satu tahun
berturut-turut:
“Tourism comprises the activities of
persons travelling to and staying in places outside their usual
environment for not more than one consecutive year for leisure, business
and other purposes not related to the exercise of an activity
remunerated from within the place visited.” (www.world-tourism.org diunduh tanggal 17 Agustus 2010)
Definisi WTO di atas juga menekankan pada tujuan perjalanan yang dilakukan, yaitu untuk leisure, bisnis, dan tujuan lain yang tidak terkait dengan kegiatan mencari uang di tempat yang dikunjunginya.
Beberapa definisi lain juga menetapkan
nilai-nilai tertentu untuk jarak tempuh dan lama perjalanan, yang
biasanya dikembangkan untuk memudahkan perhitungan statistik pariwisata:
- Committee of Statistical Experts of the League Nations (1937) menetapkan waktu paling sedikit 24 jam bagi perjalanan yang dikategorikan perjalanan wisata. (Gartner, 1996: 5).
- The United States National Tourism Resources Review Commission (1973) menetapkan jarak paling sedikit 50 mil untuk perjalanan wisata. (ibid.)
- United States Census Bureau (1989) menetapkan angka 100 mil untuk perjalanan yang dikategorikan sebagai perjalanan wisata. (ibid.)
- Canada mensyaratkan jarak 25 mil untuk mengategorikan perjalanan wisata. (ibid.)
- Biro Pusat Statistik Indonesia menetapkan angka lama perjalanan
tidak lebih dari 6 bulan dan jarak tempuh paling sedikit 100 km untuk
perjalanan wisata. (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003: I-6)
Definisi pariwisata dari dimensi spasial
ini di Indonesia didefinisikan sebagai kegiatan wisata, seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 Pasal 1,
yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Dimensi Industri/Bisnis
Dari sisi supply, pariwisata
lebih banyak dilihat sebagai industri/bisnis. Buku-buku yang membahas
tentang definisi pariwisata dari dimensi ini merupakan buku dengan topik
bahasan manajemen atau pemasaran.
Definisi pariwisata yang dipandang dari
dimensi industri/bisnis memfokuskan pada keterkaitan antara barang dan
jasa untuk memfasilitasi perjalanan wisata. Smith, 1988 (Seaton and
Bennett 1996: 4) mendefinisikan pariwisata sebagai kumpulan usaha yang
menyediakan barang dan jasa untuk memfasilitasi kegiatan bisnis,
bersenang-senang, dan memanfaatkan waktu luang yang dilakukan jauh dari
lingkungan tempat tinggalnya: “... the aggregate of all businesses
that directly provide goods or services to facilitate business,
pleasure, and leisure activities away from the home environment.”
Sementara itu, Craig-Smith and French
(1994: 2) mendefinisikan pariwisata sebagai keterkaitan antara barang
dan jasa yang dikombinasikan untuk menghasilkan pengalaman berwisata: “... a series of interrelated goods and services which combined make up the travel experience.”
Definisi pariwisata sebagai
industri/bisnis inilah yang di dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataa didefinisikan sebagai pariwisata, yaitu berbagai macam
kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah
daerah.
Dimensi Akademis
Dimensi akademis, mendefinisikan pariwisata secara lebih luas, tidak hanya melihat salah satu sisi (supply atau demand),
tetapi melihat keduanya sebagai dua aspek yang saling terkait dan
mempengaruhi satu sama lain. Pariwisata dari dimensi ini didefinisikan
sebagai studi yang mempelajari perjalanan manusia keluar dari
lingkungannya, juga termasuk industri yang merespon kebutuhan manusia
yang melakukan perjalanan, lebih jauh lagi dampak yang ditimbulkan oleh
pelaku perjalanan maupun industri terhadap lingkungan sosial budaya,
ekonomi, maupun lingkungan fisik setempat. Definisi tersebut dikemukakan
oleh Jafar Jafari, 1977 (Gartner, 1996: 7):“Tourism is a study of
man away from his usual habitat, of the industry which responds to his
needs and of the impacts that both he and the industry have on the host
sosiocultural, economic and physical environment.”
Definisi Jafar Jafari ini mengeliminasi
dimensi spasial sebagai faktor pembatas perjalanan wisata. Definisi
tersebut menyatakan bahwa begitu seseorang melakukan perjalanan
meninggalkan lingkungannya (tempat tinggal, tempat kerja), dia sudah
dinyatakan melakukan perjalanan wisata.
Dimensi Sosial-Budaya
Definisi pariwisata dari dimensi sosial
budaya menitikberatkan perhatian pada: 1) Upaya memenuhi kebutuhan
wisatawan dengan berbagai karakteristiknya, seperti definisi yang
dikemukakan oleh Mathieson and Wall, 1982 (Gunn, 2002: 9) berikut ini: “Tourism
is the temporary movement of people to destinations outside their
normal places of work and residence, the activities undertaken during
their stay in those destinations, and the facilities created to cater to
their needs.”
Definisi lainnya juga dikemukakan oleh Chadwick, 1994 (ibid), sebagai berikut: “…
identified three main concepts: the movement of people; a sector of the
economy or industry; and a broad system of interacting relationship of
people, their needs, and services that respond to these needs.” 2)
Interaksi antara elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya,
seperti yang dikemukakan oleh Leiper, 1981 (Gartner, 1996: 6) yang
mendefinisikan pariwisata sebagai “an open system of five elements
interacting with broader environments; the human element; tourists;
three geographical elements: generating region, transit route, and
destination region; and an economic element, the tourist industry. The
five are arranged in functional and spatial connection, interacting with
physical, technological, social, cultural, economic, and political
factors. The dynamic element comprises persons undertaking travel which
is to some extent, leisure-based and which involves a temporary stay
away from home of at least one night.”
Definisi lain yang lebih sederhana
dikemukakan oleh Hunziker, 1951 (French, Craig-Smith, Collier, 1995: 3),
yang mendefinisikan pariwisata, sebagai berikut: “... the sum of
the phenomena and relationship arising from the travel and stay of
non-residents, in so far as the do not lead to permanent residence and
are not connected with any earning activity.” 3) Kerangka sejarah dan budaya, seperti yang dikemukakan oleh MacCannell, 1992 (Herbert, 1995: 1), berikut ini: “Tourism
is not just an aggregate of merely commercial activities; it is also an
ideological framing of history, nature and tradition; a framing that
has the power to reshape culture and nature to its own needs.”
Definisi pariwisata dari dimensi
akademis dan dimensi sosial budaya yang memandang pariwisata secara
lebih luas, di Indonesia dikenal dengan istilah “kepariwisataan” (UU No.
10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan), yaitu keseluruhan kegiatan yang
terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin
yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta
interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,
pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.
Berdasarkan definisi-definisi yang
dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa elemen-elemen penting
yang menjadi fokus perhatian pada istilah pariwisata untuk
masing-masing dimensi, adalah dimensi spasial, perjalanan manusia ke
luar lingkungan tempat tinggal dan tempat kerjanya dalam waktu;
sementara dimensi industri/bisnis, keterkaitan antara barang dan jasa
untuk membentuk pengalaman berwisata; dimensi akademis, studi terhadap
perjalanan manusia ke luar lingkungan yang biasa ditinggalinya. Studi
terhadap industri untuk melayani kebutuhan wisatawan dan dampak yang
ditimbulkan. Dimensi sosial budaya, terkait pemenuhan kebutuhan
wisatawan. Interaksi antara lingkungan fisik, ekonomi, sosial budaya dan
kerangka pembentuk sejarah, alam, dan budaya.